OPINI - Kekuasaan itu tidak abadi. Ada waktunya untuk berganti. Di Indonesia, jatah waktu berkuasa hanya sepuluh tahun. Dua periode. Tidak lebih.
Presiden Jokowi, walaupun berupaya didorong untuk tiga periode (15 tahun) atau tunda pemilu, tetapi gagal. Oktober 2024 nanti, Jokowi turun. Presiden baru menggantikannya. Entah itu Anies Baswedan, Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Siapapun yang jadi presiden nanti, tidak ada yang menjamin Jokowi turun dengan aman.
Baca juga:
Dahlan Pido: Matinya Hukum dan Demokrasi
|
Kekuasaan punya logikanya sendiri. Lihat Jokowi ketika jadi cagub DKI, ia membungkuk dan cium tangan Prabowo. Saat ini, Jokowi presiden dan Prabowo menhan. Situasinya berbalik. Prabowo yang hormat dan menunduk kepada Jokowi. Begitulah politik. Siapa yang berkuasa, dialah yang paling kuat dan punya wibawa. Di tangannya, ada otoritas untuk menundukkan orang lain.
Turun dari istana, Jokowi akan jadi rakyat biasa. Tak lebih dari anda. Ia pun nanti akan menunduk kepada presiden selanjutnya. Hukum politik akan berlaku. Even Prabowo yang akan jadi presiden. Prabowo pegang kendali. Saat itu, Jokowi bukan siapa-siapa lagi. Prabowo punya kewenangan legal, termasuk untuk memperlakukan Jokowi sesuai kewenangannya. Bagaimana dengan Gibran? Dia wakil. Seperti layaknya wakil presiden lainnya. Lihat Jusuf Kalla dan Kiyai Ma'ruf Amin. Tidak banyak peran. Karena tanda tangan ada di presiden. Semua keputusan, presiden yang berwenang.
Apalagi jika presidennya Ganjar Pranowo. Apa yang akan dilakukan Megawati dan PDIP terhadap Jokowi dan Gibran? Anda bisa bayangkan "perasaan" Mega saat ini. Kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati memberi catatan sejarah yang sangat serius. Apalagi kepada Jokowi yang dua kali dicalonkan sebagai walikota, sekali sebagai calon gubernur dan dua kali sebagai calon presiden. Anak dan menantu Jokowi, keduanya dicalonkan sebagai walikota dan jadi. Lalu, setelah semua didapatkan, dengan segala kekuatan dalam kendali, Jokowi tinggalkan Megawati. Kalau jadi Megawati, apa yang akan anda lakukan?
Bagaimana kalau presidennya Anies Baswedan? Anies Baswedan adalah sosok pemimpin yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan lainnya. No benci, No dendam. Itulah Anies. Tapi soal aturan hukum, manusia satu ini sulit diajak kompromi. Anda sudah bisa bayangkan jika Anies Baswedan Jadi presiden. Akan ada proses penertiban, seperti Anies menertibkan pulau reklamasi dan Alexis. Akan banyak aset milik negara yang lepas, akan diminta kembali secara hukum. Lalu, bagaimana Jokowi di pemerintahan Anies Baswedan? Jokowi adalah warga Indonesia, berlaku hukum dan aturan sebagaimana untuk umumnya rakyat Indonesia. Tanpa perbedaan dan tanpa diskriminasi. Aturan hukum berlaku untuk siapapun.
Saat ini, di akhir jabatannya, Jokowi punya kesempatan terbaik untuk menertibkan kepemimpinannya. Caranya? Netral dalam pemilu. Tidak ikut cawe-cawe. Instruksikan kepada seluruh aparat negara, terutama Polri, TNI dan PJ kepala daerah untuk netral. Tindak mereka yang ikut cawe-cawe. Ini cara paling ampuh untuk mengakhiri jabatan dengan baik.
Rakyat akan apresiasi dan simpatik. Dengan begitu, Jokowi turun sebagai seorang negarwan.
Baca juga:
Alex Wibisono: Berebut Kecurangan
|
Jadi, yang menyelamatkan dan membuat aman Jokowi adalah dirinya sendiri. Bukan presiden penggantinya.
Jakarta, 16 Nopember 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa